07 Juni 2008

PERGULATAN HATI LANGITA

Ya ampun…. Ga bisa bayangin gimana rambut indahku jika harus memakai jilbab. Pasti berkeringat, lepek, bau … ah pokoknya yang jelek jelek deh. Apalagi selama in yang paling aku banggakan dari penampilanku adalah ram,but indahku ini. Dia bak mahkota raja yang berharga yang membuat aku tampil percaya diri karena banyak yang iri akan keindahannya. Pokoknya skala satu sampai sepuluh, rambutku pasti akan menduduki posisi sembilan. Bukan sombong lho, emang begitu kenyataannya. Pokoknya patut dibanggakan, cocok deh buat iklan shampoo, produsernya aja yang belum ngeliat rambutku. Trus, tiba-tiba aku harus tutupi sesuatu yang indah ciptaan Allah ini? Bukankah Allah cinta akan keindahan? Dan kenapa pula harus ditutup ? Engga dech………..”

Sudah tiga bulan ini Langita mengikuti Kajian Rohaniah Islam yang diadakan oleh kampusnya. Setiap Minggu pagi dia rutin mengikuti kegiatan tersebut. Padahal dalam hati dia sedikit menyesalkan kenapa juga harus diadakan hari Minggu. Padahal hari Minggu kan saatnya untuk hanging out. Tapi toh tetap saja ia mengikuti kegiatan itu karena memang ia mau sedikit memperdalam pengetahuannya mengenai agama. Dan setelah beberapa lama ia mengikuti kegiatan tersebut, ada satu hal yang sangat mengganggu hatinya. Bahwa seorang wanita harus menutup auratnya. Dan bahwa ternyata yang selama ini dianggapnya aurat adalah cuma sebatas leher ke bawah dan lutut ke atas. Ternyata sa;lah besar Selama ini dia memandang wanita berjilbab hanya sekedar mengikuti fashion saja. Jadi hanya bersifat pilihan, boleh ya, boleh tidak. Gambaran fiqih mengenai hal itu sudah dijabarkan dengan sangat jelas oleh kak Rayhan, Mentornya di Kajian tersebut.

“God, what should I do? Soalnya aku ga bisa ngebayangin gimana jadulnya aku kalau harus jogging mengelilingi komplek perumahan dengan memakai stelan kaos training panjang, pake jilbab pula? Trus mau akau kemanain koleksi hot pants selututku yang bertumpuk di lemari? Lebih parah lagi suitan yang selalu aku peroleh ketika melewati komunitas kaum adam yang lagi pada nongkrong, apa ga akan berubah menjadi “Assalamu’alaikum Bu Hajiiii…” Pasti tengsin berat aku. Engga deh……

Bulan keempat minggu ketiga, Langita sudah mulai jengah dengan pandangan Rayhan ketika sedang memberikan materi kajian. Selama ini Rayhan tahu betul bahwa Langita hanya memakai jilbab ketika mengikuti kajian saja. Selebihnya berkali-kali Langita harus lari menghindar dari kakak seniornya di kampus itu. gara-gara dia hanya memakai celana jeans selutut dan kaos pas badan. Dan Langita merasa sangat salah tingkah walaupun Rayhan hanya memandang sekilas sekilas saja ke arahnya ketika sedang menguraikan hukum dan hadits mengenai wanita.

“Idih, kenapa aku merasa pandangan matanya begitu menusuk hatiku. Seolah olah mata itu menuding dan mencibir, “Hai Langita, Kok pake jilbanya kalau sedang ikut kajian aja? Apa Allah hanya berada di tempat kajian ini?” Begitu kira-kira aku menerjemahkan tatapan matanya kak Rayhan. Very handsome sih kakak yang satu ini. Eh, tapi kenapa pula aku harus mikirin dia. Who is he anyway? Siapa sih dia hingga aku selalu merasa bersalah jika memakai baju yang lagi trend? Saudara bukan, pacar juga bukan. Ih.. bodoh banget sih aku ini, ngapain juga aku harus merapatkan kerudung yang aku pake ketika yang memberi materi kajian adalah kak Rayhan

Langita menggelengkan kepalanya seperti ingin mengibaskan dan mengusir rasa sungkannya pada Rayhan, ustadz muda yang selalu sabar membimbing peserta kajian yang rata-rata memang sudah berjilbab setiap harinya. Tidak ada ajakan atau propaganda kampanye yang persuasive yang vulgar untuk memenuhi syariat Islam tersebut. Dari mulutnya hanya keluar senyuman, cerita perbandingan dan bahasa bahasa tersirat yang lembut tanpa menghakimi. Rupanya itu yang disukai Langita dari Rayhan. Cara dakwahnya yang halus dan tidak terkesan menggurui. Seandainya seluruh ustadz begitu, pasti orang tak lagi enggan mengikuti barbagai macam kajian Islam.

“Hari ini aku pasti ketemu kak Rayhan di rapat rutin dan apa jadinya kalau dia ngeliat aku pakai baju begini, terlalu pas dan ketat sehingga they can look my body shape. Dan itu… Ga Boleh. Ganti baju ahhhh. But Wait….Masa iya aku pake jilbab hanya karena malu pada seseorang, manusia lagi. Wah, ga bener nih… bukankah itu namanya riya’. Iya .. apalagi namanya kalau kita berniat menjalankan syariat Islam hanya karena malu sama seorang makhlukNya juga? Ih… kata kak Rayhan juga riya’ itu hukumnya… sereeem . Astagfirullahal ‘adzim .. Engga dech

Akhirnya Langita berangkat ke rapat hari itu tetap dengan kostumnya yang biasa , tetapi dia memilih celana panjang dan kaos lengan panjang, Cuma belum pakai jilbab Baginya itu sudah sangat sopan karena kostum itu jarang menjadi pilihannya ketika berdiri di depan lemari pakaian. Tapi akhirnya pakaian itu tak urung juga membuat ia merasa telanjang di tengah tengah para perserta rapat yang semuanya memakai jilbab kecuali para kaum adamnya (Ya iyalah, masak cowok pake jilbab). Terpaksa ia memilih tempat duduk paling belakang yang paling terlindung dari pandangan para pimpinan rapat di depan and especially dia bisa terhindar dari tatapan mata cool Rayhan yang hanya sekilas saja tapi cukup membuat dadanya berdesir kencang dan…

“Bukan kak Rayhan yang membuatku ingin memakai jilbab . Bukan,…. sama sekali bukan. Ok aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa bukan karena seseorang. Aku ga akan menodai niat suciku dengan urusan seperti itu. Aku harus memakai jilbab untuk hatiku terlebih dahulu. Ya, hatiku harus lebih dahulu berjilbab, hatiku harus jauhdulu dari penyakit iri, dengki, prasangka buruk dan yang naudzubillah lainnya. Buat apa pake jilbab kalu kelakuan minus. Ga lucu kan? Baru setelah hatiku OK , aku akan memakai jilbab dengan perasaan tenang dan penuh percaya diri. So? Not now …….

Bulan kelima Langita masih setia mengikuti kajian muslim itu. Dia tidak lagi memperdulikan tatapan mata Rayhan, dia tidak lagi memikirkan apakah siulan yang biasa di dapatnya dari kaum Adam akan berubah menjadi assalamualaikum Bu haji. permisi aku permisiii …..Langita memulai urusan proses pembenahan diri yang dia sebut sebagai memakai jilbab untuk hatinya. Ia ga mau hatinya penuh dengan prasangka ke orang lain, penuh pertimbangan pada komentar orang lain. Gimana kalau orang lain berpikiran gini, gimana kalau orang lain berpikiran gitu. Dalam hati terpatri “OK ,Someday I will wear that holy jilbab “

Hari –hari selanjutnya yang dilalui langita berjalan seperti biasa. Hanya pilihan busananya sudah berubah. Tank top tak lagi menjadi favoritnya. Topi juga tak pernah alpa menghiasi rambutnya yang indah. Jeans ketat? Good bye my love deh pokoknya, itu semua dilakukannya murni dari hati. Jilbab yang sudah menumpuk di lemarinya saksinya. Ia tidak ingin salah melangkah bahwa ia memakai busana itu bukan karena siapa- siapa. Bukan juga karena kak Rayhan yang pernah membuat hatinya tertawan.

“ Demi Engkau Ya Allah, hanya demi Engkau, ayat demi ayat yang aku kaji bagaikan embun yang membasahi padang gersang hatiku memberikan kesejukan di perjalanan hatiku yang lelah. Memberikan keyakinan yang mutlak dan tak terbantahkan. Bahwa semua dariMu dan akan kembali padaMu

Air mata sering mengalir deras dari sudut matanya dalam setiap sujud tahajudnya ia selalu meminta kepada Allah untuk diberikan kekuatan menghadapi dunia yang semakin tak karuan. Ia memohon kekuatan supaya menjalankan ibadahnya tanpa keengganan.

Bulan ke tujuh langita mengikuti kajian seperti biasa. Suasana di tempat kajian terlihat tidak kelihatan seperti biasanya, semua kelihatan muram. Bahkan terdengar isakan lirih dari kerumunan para cewek. Beberapa koodinator kajian terlihat agak sibuk dan serius membicarakan sesuatu. Langita datang masih dengan wajah bertanya-tanya. Mulutnya sudah hampir terbuka untuk mengucapkan salam tapi keburu suara loudspeaker melengking tinggi tanda belum stabil. Beberapa saat masih terdengar ga enak di telinga, tapi setelah hening sejenak terdengar sebuah salam yang lirih dan seolah tercekat di tenggorokan. Ternyata pemilik suara itu adalah kak Fadli, salah satu koordinator Kajian. Belum selesai Langita terheran-heran mendengar salam yang terdengar serak dan ragu itu, tiba-tiba si pemilik suara melanjutkan dengan..

Innalillahi Wa Inna lilllahi Rojiun

Kullu nafsin dza iqotul maut.

Telah berpulang dengan tenang saudara kita tercinta

Rayhan Numa………………

Tak sanggup rasanya L:angita menahan berat tubuhnya yang limbung mendengar pengumuman singkat itu. Bahkan mulutnya tak sanggup mengucap…

Lidahnya kelu…

“Ya Allah, Kak Rayhan meninggal? Tidak terlalu singkatkah Engkau memberinya waktu untuk menikmati indahnya dunia ini Ya Rabb? Dia masih begitu muda, begitu alim, cerdas dan Insya Allah bermasa depan cerah. Wajah cool yang selama ini aku tuduh sebagai pengganggu hatiku, pengganggu konsentrasi ibadahku sekaligus aroma yang membuat wangi hari-hariku…”

Rombongan kajian langsung menuju rumah duka untuk ta’ziah dan melepas kepergian Rayhan. Prosesi pemakaman mereka lalui dalam diam. Tak henti airmata mengalir deras dari sudut mata Langita. Menatap tanah merah yang sedikit demi sedikit menutup makan kak Rayhan. Semakin sesak Langita menahan tangisnya supaya jangan bersuara…

“ Bukan Kak Rayhan Ya Allah yang aku tangisi. Aku menangisi diriku sendiri. Bagaimana aku akan menjawab semua pertanyaan para malaikat seandainya aku yang menjadi jenazah itu. Sedangkan aku masih telanjang. Ya, aku masih telanjang. Bagaimana kalau nanti sore, esok atau lusa aku yang terbujur kaku, memakai kain kafan putih, dengan kapas yang menutup mata dan telingaku? Ya Rabb, aku belum siap Kau jemput, karena…………. aku masih menunda-nunda untuk menjalankan perintahMu. Aku telah menggunakan berbagai dalih dan alasan untuk menunda memakai jilbab. Aku terlalu sombong, angkuh dan takabur, terlalu yakin bahwa Allah akan memberi kesempatan yang panjang untuk menghirup udara segar di muka bumi ini. Aku manusia bodoh yang pura-pura ingin memakaikan jilbab di hati terlebih dahulu sebelum menutup kepala ini dengan jilbab. Padahal itu semua hanya mencari pembenaran atas kesalahan dan mengingkari Al Quran.

Aku terlalu naïf dan telah melakukan tawar menawar tolol dengan Allah, Astagfirullahal azim….. Ampuni hambamu ini ya Rabb……

Tiba-tiba Langita berlari dan berlari. Ia meninggalkan pemakaman itu tanpa peduli lagi pada siapapun. Ia ingin secepatnya melakukan sesuatu yang selama ini selalu ia tunda untuk menjalankannya. Ia ingin secepatnya pulang dan menutup semua auratnya yang selama ini ia pertontonkan pada semua orang. Sesampainya di rumah ia menghambur ke kamar dan membuka lemari pakaiannya. Ia meraih tumpukan jilbab yang selama ini sudah ia koleksi. Ia merangkumnya dalam dekapan sambil berurai airmata. Kemudian masih sambil menangis ia terduduk lemas….

“Terimakasih Kak Rayhan, maafkan aku jika hidayah itu datang padaku lewat kepergianmu. Selamat jalan kak Rayhan, Semoga Allah menerima semua amal dan ibadahmu di sisiNya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar