24 November 2009

FIGURAN LAKNAT YANG LEPAS DARI EPISODE

Aku terengah di langit malam tanpa gemintang
Angin berbisik lirih, embun dengan mesra melembut di kulitku
Hawa dingin di medio November melesap ke kalbu
Nyayian katak yang biasa terdengar entah mengapa hening
Hanya bunyi kecil si jangkrik meningkahi desau daun angsana di beranda

Dini hari ketika lelapku telah usai
Aku mencoba bercermin menatap hati dan coreng moreng wajahku hari ini
Entah seperti apa penampilanku di panggung kemarin
Sudahkah menyisakan sepotong roti untuk esok nanti?
Atau hanya keangkuhan saja bertengger di jidat
Atau hanya kesombongan saja merangkap sukma mengendala indahnya syukur nikmat....

Cermin itu kutatap dengan mata telanjang
Dia memantulkan semua kejujuran tanpa ada yang tertinggal
Tata Rias buruk, eye shadow yang seram dan ekspresi yang menyedihkan
Hah, mengapa tak jua protes sang sutradara
Atau dia tengah mengumpulkan tenaga untuk menghentakku dalam teguran yang kasat mata....
Ketika actingku buruk, blockingku overlap dan penghayatanku dangkal
Dalam panggung itu, antagonis kuperankan dengan seru ketika seharusnya protagonis ada dalam skenario di tanganku
Rupanya ku pemain bengal yang mencba berimprovisasi
Sok pongah dengan alasan menghadirkan kebaruan
Sadar sadar teriak nurani
Bukan begini caranya menjadi nabi.....

O tapi tunggu.....
Lihat di kelam mata itu
Ada sebuah janji hati yang masih membayang di sana
Walau ragu tapi gurat itu terasa di sana
Meringkuk di ujung jiwa
Menanti sentuhan,
Menanti Kontemplasi yang kadang tak jua menyata
Kapan lagi janji hati ini ku susun, seolah ku akan hidup seribu tahun lagi

Cermin maya yang ada di semesta
Jujurmu membuatku meneteskan airmata
Sutradaraku, ampunkanku karena telah memakai properti antagonis ini
Untuk peran figuranku yang yang lepas dari naskah yang seharusnya....
Astaghfirullah...........................................

Selasa, 17 Nopember 2009

LELAKI TERPASUNG HATI

Kau berwajah keruh
Aura yang kau pancarkan suram memancarkan permusuhan
Kau sangkakah kau akan bisa hidup sendirian?
Kau akan sendiri nanti ketika kau mati
Di sini kau hidup dengan saudaramu
Masihkah kau coba untuk menerkamnya juga
Di sini kau hidup dengan temanmu
Tak kaurasakankah indahnya tertawa bersama?

Lalu apa yang kau maksud dengan teman?
Apakah mereka yang mengikuti aturan busukmu?
Apakah mereka yang menjilat pantatmu?
Apakah mereka yang seperti robot kau paksa untuk menurti kehendakmu
Apakah bagimu teman itu yang memberimu celah untuk meraup rakusmu yang bagaikan serigala?

Lelaki terpasung hati,
Tak tahu aku apakah ada sedikit yang tersisa
Untuk sekedar tersenyum pada dunia
Karena bagimu..mulutmu.. adalah untaian keluh dan gerutu saja

Aku tak paham dari mana kau dapat hati batu itu
Bukankah alam mengajarkannya padamu?
Tak pernahkau mempelajarinya hai lelaki terpasung hati?
Bahkan burung, bahkan semut, bahkan pepohonanpun mengajarkan bagimana cara berbagi
Walau bukan dengan materi....

Semestinya, hatimu itu pualam yang mengawal langkah kakimu
Tapi kau ikat ia jauh ke dalam otak rakusmu
Kau khianati, kau aniaya dan kau dzolimi dia..
Kau pasung dia hingga hilang cahaya

Waktu sudah tak banyak lagi Lelaki,
Jika tak segera kau lepaskan hatimu yang terpasung
Entah apa warna auramu esok nanti.....



Parungpanjang, Sabtu, 21 Nopember 2009

KAU MEMAKSAKU BERPUISI

Hari ini kau memaksaku berpuisi
Tentang sebuah kemarahan yang selalu menjadi duniamu yang tak ada akhir
Tentang sebuah kehausan yang tak pernah selesai walau telah kau tenggak air selautan
Tentang sebuah etika yang kau hilang karena kau sengaja buang

Padahal kata kata segarang apa jua tak sanggup menyentuh hatimu
Yang kau sembunyikan dalam pasung yang telah berkarat
Palu godam kata kata yang mengusung makna bangsat
Ribuan jarum ironis yang memanggul definisi laknat
Ribuan sarkasme vulgar tak mampu membuat kau bergeming
Bahkan kata-kata ini sendiri membuatku merinding

Tak sanggup mengetuk angkuh dinding yang kau bangun
menjadi benteng serupa alcatraz
ketebalannya seolah tanpa batas
Lalu dengan apa aku harus meruntuhkan gunung es yang telah membatu
Sementara tubuh ini rapuh tak sekukuh puisiku
Sedang jiwa ini lumpuh bila kau sudah melabuh
Dengan perahu kokohmu yang palsu

Sampai berapa lama kawan, kau akan bertahan?
Menghadapi kerasnya lautan