11 Mei 2008

KODE ETIK GURU INDONESIA

Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Bangsa dan Negara serta kemanusiaan umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa pancasila dan setia pada Undang Undang Dasar 1945, turut bertanggungjawab atas terwujudnya cita-cita proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan mempedomani dasar-dasar sebagai berikut:

  1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila.
  2. Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional

Seseorang guru boleh saja pintar dan memiliki kompetensidan motivasi yang tinggi; tetapi kalau secara etik dan moral ia tidak bisa dipercaya, maka ia tidak layak disebut profesional.

  1. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan

Perlu disadari bahwa BK untuk siswa bukan hanya tugas guru BK saja melainkan tanggungjawab bersama.

  1. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
  2. Guru memelihara hubungan baik dengan orangtua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggungjawab bersama terhadap pendidikan
  3. Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya
  4. Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial
  5. Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
  6. Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan

Kode Etik Guru Indonesia ditetapkan dalam Kongres PGRI pada tahun 1973 pada Kongres ke XIII di Jakarta. Kemudian disempurnakan pada Kongres ke XVI tahun 1989 di Jakarta .

Pengurus PGRI yang terdiri para ahli pendidikan sudah sedemikian maksimal dalam menyusun kode etik guru, yang apabila dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab oleh seluruh guru RI, maka tak ragu lagi pasti semua carut marut pendidikan kita tak akan terjadi semenyedihkan yang ada sekarang.

Dimana guru meletakkan kode etiknya ???

  1. Kalau mark up nilai siswa sudah dianggap sebagai hal yang biasa?
  2. Kalau subyektivitas penilaian sudah meraja lela, mentang-mentang sama-sama anak guru nilainya didongkrak sedemikian rupa sehingga bisa sama atau tak jauh dari image bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Padahal guru juga manusia. Punya lemah punya kekurangan. Kenapa harus malu kalau anak –anak kita nilai di bawah standar?
  3. Kalau guru sudah tak peduli lagi dengan siswanya. Jangankan mencari informasi lebih jauh mengenai anak didiknya, nama mereka saja mungkin kita sudah lupa. Astagfirullahal’azim..

Rasanya kode etik guru perlu diimprove lagi. Apalagi kode etik yang berbunyi ” Guru melaksanakan segala kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan”, lalu dimana asas desentralisasi yang selama ini didengung-dengungkan, kalau guru masih harus juga dijejali dengan kewajiban militer alias dilarang menolak perintah atasan?

Sebagai wujud optimisme kita, di luar semua itu masih banyak komunitas guru yang menjaga betul kode etiknya, punya empati yang luar biasa terhadap keberhasilan pendidikan di Indonesia, punya komitmen untuk selalu meningkatkan kompetensi diri supaya layak disebut sebagai profesional.

Untuk mengembangkan kompetensi selaku profesional terampil, memerlukan perjalanan waktu. Dalam rentang waktu itulah seorang profesional akan diuji. Inilah proses pematangan seorang manajer profesional melalui track record.

Hidup guru.....Terima kasih guru.................

Apa tanggapan anda?

KOMPETENSI YANG HARUS DIKUASAI GURU

Robert Housten dan Howard L. Jones

Robert Housten dan Howard L. Jones dalam tulisannya yang berjudul Program Design in Perfomance Based Teacher Education mengemukakan 15 kompetensi yang harus dikuasai oleh guru / calon guru adalah:

1) Mendiagnosis kebutuhan emosional-emosional social, fisik, dan intelektual murid,

Sebagai seorang guru kita harus tahu betul ilmu perkembangan peserta didik. Di rata-rata usia siswanya kecenderungan fisiologis dan psikologis apa yang dialami oleh mereka. Kalau siswa sedang senang terhadap hal-hal yang berkaitan dengan lawan jenis, maka intermeso guru di kelas juga sedapat mungkin dikaitkan dengan dunia siswa. Hal –hal tersebut di bawah ini bisa menarik perhatian siswa:

a. Panggil siswa dengan nama panggilan yang mereka sukai. Trend pergaulan yang ada sekarang adalah menggunakan nama nama gaul yang mereka gunakan untuk kalangan sebaya mereka. Hal tersebut kecil tapi akan cukup menyentuh. Kalau kita tak sanggup menggunakan trik tersebut paling tidak kita tahun nama-nama mereka. Mana Siti, mana Romi, dan mana Rika. Yakinkan mereka bahwa kita mengenal mereka secara pribadi. Jangan sampai siswa mempunyai pikiran dan perasaan seperti

- Ah Paling Pak guru itu tidak akan menyuruh aku untuk mengerjakan tugas di papan tulis karena tidak tahu namaku.

- Bu guru itu kan tidak mengenalku, aku kan hanya satu dari sekian banyak muridnya. Jadi Ga papa kali kalau aku sekali-kali ga ngerjain PR

b. Gunakan tema sinetron remaja untuk menunjang pembelajaran kita. Menggunakan contoh sesuatu yang benar-benar mereka kenal akan sangat menarik karena berangkat dari sesuatu yang sangat mereka pahami. Kalo kita sudah mendapatkan perhatian mereka, tak mudah mengajak mereka ke materi pembelajaran yang menjadi target kita.

c. Musik adalah seni yang sangat human dan universal, Jarang sekali seseorang yang tak menyukai musik, bahkan untuk orang yang tidak bisa menyanyi sekalipun alias hanya sekedar menikmati. Jenis musik yang sedangh trend atau top hits perlun juga menjadi bahan dan wawasan kita untuk bisa diterima sebagai seseorang yang paham tentang dunia mereka. Kalau kita berbicara sesuatu yang sedang digandrungi, sudah pasti mata-mata akan tertuju pada dengan takjub. ”Ternyata guruku gaul juga...”

2) Mengidentifikasi atau memperinci tujuan-tujuan pengajaran berdasarkan kebutuhan murid,

Menjabarkan Kompetensi Dasar menjadi indikator-indikator dengan teliti sehingga sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh siswa. Kompetensi yang harus dikuasai siswa tentu saja harus sesuai dengan perkembangan usianya. Guru harus bisa menentukan kapan dan mana sesuatu materi harus diberikan kepada siswa secara detil dan mana yang bisa hanya diberikan secara global saja karena hanya bersifat pengayaan saja.

3) Merancang pengajaran yang cocok dengan tujuan-tujuan,

Setelah menyusun Indikator kompetensi yang harus dikuasainya seorang guru harus merancang pengajaran dalam bentuk Rencana Pelaksanaan Pembelajaran yang sesuai dengan semua indikator yang telah disusunnya dalam silabus. Contoh RPP banyak bertebaran di mana-mana. Sangat mudah di dapat. Tetapi hendaknya diingat bahwa RPP tersebut belum tentu sesuai dengan kebutuhan dengan siswa yang ada di sekolah kita. Tentu kita harus memodifikasinya sehingga sesuai dengan keadaan siswa kita serta fasilitas yang ada di sekolah kita.

4) Melaksanakan pengajaran sesuai dengan rencana,

Betatapun rapinya perangkat pembelajaran yang kita susun, selama kita membuatnya hanya dalam rangka memenuhi kewajiban dari pimpinan dan tidak melaksanakannya di kelas maka hal tersebut ibarat seorang gadis yang bersolek mati-matian untuk pergi ke sebuah pesta, namun setelah ia terlihat cantik jelita, di tengah perjalanan hujan pun turun dan akhirnya semua make upnya luntur.

5) Merancang dan melaksanakan prosedur evaluasi yang berpusat pada apa yang dicapai murid dan efektifitas pengajarannya,

Hal ini berarti guru harus mempunyai pengetahuan di bidang evaluasi pengajaran/pendidikan. Bagaimana menyusun instrumen evaluasi, menganalisisnya sejauhmana daya serap dan ketuntasan belajar siswa dan sebagainya.

6) Mengintegrasikan latar belakang cultural pada murid ke dalam pengajaran,

Membawa dunia siswa ke dalam dunia baru yang akan kita kenal biasa disebut apersepsi merupakan alat yang efektif untuk menggiring pemahaman siswa terhadap materi baru. Budaya lokal di mana siswa tinggal alias lingkungan sekitar sekolah tentu memiliki budaya-budaya khas yang unik sehingga pernak-pernik temanya bisa kita bawa ke kelas.

Contoh:

Lingkungan sekolah berada di pemukiman penduduk yang hampir semuanya mencetak batu bata dan genteng sampai pada proses pembakaran dan pemasarannya, jauh dari pusat keramaian kota, satu-satunya hiburan adalah acara dangdut yang diadakan oleh orang yang sedang punya hajat menikahkan atau mengkhitankan anaknya. Sehingga ketika ada acara demikian seluruh penduduk semuanya berada di tempat pertunjukkan dangdut tersebut.

Pemanfaatannya di kelas:

a. Di kelas IPS bisa berangkat dari pemasaran batu bata dan genteng

b. Di kelas Seni bisa membahas pembuatan genteng dan batu-bata kemudian mengembangkannya dengan pembuatan karya seni yang terbuat dari tanah liat yang notabene banyak berada di lingkungan sekitar sekolah.

c. Di kelas Bahasa Indonesia terdapat cara atau petunjuk cara melakukan sesuatu, bisa mengambil prosedur pembuatan batu-bata maupun genteng

d. Di kelas Pendidikan Lingkungan Hidup, bisa dibahas kerusakan lingkungan akibat eksploitasi tanah yang berlebihan dan akibat buruknya bagi kelestarian lingkungan

7) Mempertunjukkan model-model pengajaran dan keterampilan mengajar yang cocok dengan tujuan-tujuan yang spesifik dan dengan pelajar tertentu,

Metode pengajaran sekarang sudah beraneka ragam. Tidak hanya sekedar diskusi, pemberian tugas, ceramah dan lainnya yang termasuk metode pengajaran tradisional. Problem based Learning, CTL, dan metode-metode yang sedang trend di dunia pendidikan. Kita juga harus terampil menyesuaikan model pembelajaran tersebut dengan karakteristik siswa.( (Lebih lengkap mengenai model-model pengajaran dapat anda lihat di http:/akhmadsudrajat.wordpress.com)

8) Meningkatkan pola-pola komunikasi kelas yang efektif,

Ilmu Komunikasi rasanya tak rugi untuk dipelajari guru sebagai pengetahuan untuk menunjang kompetensinya. Variasi pola komunikasi juga membuat siswa tidak merasa bosan. Jadi tidak hanya guru yang bicara, tetapi siswa juga harus menanggapi guru, siswa menanggapi siswa yang lainnya.

9) Menggunakan sumber-sumber yang cocok dengan tujuan-tujuan pengajaran,

Sumber pengajaran merupakan kreativitas guru. Jadi tidak hanya mengkitalkan buku teks saja. Koran, majalah dan internet merupakan sumber kaya yang up to date. Isu-isu dan fenomena hangat yang terjadi di masyarakat juga pasti menarik dan membantu siswa unuk menambah wawasan sosialnya. Kalau memang sedang heboh lumpur lapindo, bawa saja ke kelas untuk diskusi, di seni ada kontroversi goyang ngebornya Inul daratista, Juga pancingan bagus untuk menarik minat siswa

10) Memonitor proses dan hasil-hasil dalam mengajar dan mengubah pengajaran atas dasar Feedback (umpan balik),

Jangan pernah sungkan untuk bertanya pada anak mengenai cara mengajar kita. Apakah mereka menyukai satu metode tertentu yang pernah kita gunakan, atau mereka merasa bosan dengan metode yang monoton dan terlalu sering digunakan. Kita bisa mengatakan pada mereka bahwa masukan mereka sangat penting untuk kita karena akan membuat kita lebih memahami mereka, apa yang mereka mau, dan acara mengajar yang bagaimana yang membuat mereka merasa nyaman dan mudah paham.

Orang yang berjiwa besar adalah orang yang bisa menerima kritik, apalagi dari orang yang lebih muda dan yunior dari kita alias para siswa kita.

11) Mendemonstrasikan pengetahuan yang memadai tentang pelajaran yang ia siapkan untuk diajarkan,

Yakinkan bahwa kita benar-benar menguasai apa yang kita bicarakan. Jangan pernah ada siswa yang merasa bahwa dia lebih pintar dari gurunya. Kalau hal itu terjadi berarti penampilan kita perlu mendapat permak habis. Bayangkan... Siswa yang notabene jauh usianya di bawah kita, mempunyai experience yang seharusnya jauh di bawah kita juga, tetapi sampai punya penilaian yang seperti itu... wah....What happened aya naon itu namanya.

Boleh sedikit bercerita:

Ketika saya dulu SMA, pernah diskusi di kelas mengenai keinginan untuk mengganti guru IPA, Biologi waktu itu. Hampir 80% siswa di kelas mengatakan bahwa guru tersebut memang tidak kompeten, bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa guru tersebut tidak becus mengajar. Indikator yang menjadi penilaian kami waktu itu adalah gaya mengajar guru itu yang tidak pernah berubah. Posisi berdiri hanya berada di depan kelas bagian tengah. Memegang sebuah buku yang tak mpernah ganti, dan tak pernah lepas dari tangan. Pkitangan mata hanya sedikit sekali memkitang ke siswa. Aduh,.... Untung hai itu terjadi sekitar limabelas tahun yang lalu.... Kalau sekarang guru-guru di Indonesia masih seperti itu...mau dibawa kemana generasi muda yang haus segalanya itu...

12) Menggunakan keterampilan-keterampilan organisasi dan manajemen untuk mempermudah dan memelihara pertumbuhan-pertumbuhan sosial, emosional, fisik, dan intelektual murid,

Berkaitan dengan pengelolaan kelas kita juga bisa menerapkan ilmu manajemen. Teknik pembagian kelompok, peraturan diskusi dan dan rambu-rambu lalulintas komentar dalam forum lisan juga memerlukan pengaturan yang manis.

13) Mengidentifikasi dan mereaksi secara sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan dirinya dan orang lain,

Kita harus sadar betul akan tuntutan profesi dan pandangan masyarakat mengenai profesi kita, sehingga kita bisa memahami keinginan mereka apa yang seharusnya kita teladankan sebagai soerang guru.

14) Bekerja secara efektif sebagai seorang anggota dari suatu tim profesional,

Mengikuti ajang pergaulan guru juga merupakan sarana yang efektif untuk meningkatkan kompetensi kita. Musyawarah Guru Mata Pelajaran, PGRI, Forum komunitas akademik dan organisasi profesi yang lain pasti sedikit banyak akan memiliki kontribusi positif terhdap wawasan keguruan dan kompetensi kita.

15) Menganalisis efektivitas dan berusaha terus menerus untuk meningkatkan efektivitas.

Jangan pernah malas untuk mengevalusi pembelajaran yang kita lakukan sendiri. Sejauh mana kita berhasil membuat siswa dari tidak tahu menjadi tahu. Jika kita mendapati perubahan walaupun hanya sedikit yang bersifat kemajuan, maka kepuasan akan kita rasakan seolah kita mendapat kebahagiaan yang tak tahu darimana datangnya.

Robert Hourton dan Howard L. Jones. 1990. Assestment of Research on Teacher Education. New York: Mac Millan Publishing Company.