21 Januari 2013

AKU DAN UNGU


Wanita itu bernama Ungu. Nama yang sangat romantis. Parasnya jelita. Tubuhnya tinggi langsing. Kulitnya kuning langsat. Hidungnya tidak terlalu mancung tetapi entah kenapa sangat menggemaskan untuk dilihat, bahkan olehku sebagi seorang perempuan. Dagunya bak lebah bergantung. Dagu idaman para wanita, yang bahkan para artis rela untuk mengoperasi dagunya supaya terlihat seperti dagunya Ungu. Punggungnya bongkok udang. Dan setiap lelaki tahu pasti apa itu maknanya. Setiap lelaki pasti akan selalu berdecak kagum dengan kemolekan wajah dan tubuh Ungu. Hampir sempurna. Kesempurnaan itu dilengkapi dengan nasibnya yang sangat beruntung karena dipersunting oleh seorang pengusaha sukses. Alhasil, Ungu, wanita itu secara kasat mata tak mempunyai kekurangan apapun dalam hidupnya. Pekerjaannya setiap hari hanya mengasuh anak-anaknya yang dua orang saja, dan mengurus rumah tangga. Aku mengenalnya sebulan yang lalu, karena aku menempati rumah baruku yang berada persis di sebelah rumahnya. Kami bertetangga sehingga sudah alami, jika aku akhirnya dekat dengan Ungu karena akupun hanya seorang ibu rumah tangga saja.
Semakin hari kami semakin mengenal satu sama lain. Banyak kegiatan yang kami lakukan bersama seperti Jogging, senam aerobic di fitness center, arisan, belanja dan lain lain urusan kaum hawa. Ungu mengatakan padaku bahwa sebelumnya tidak pernah mempunyai teman yang bisa diajaknya sama-sama mengerjakan segala sesuatu. Singkatnya kamipun bersahabat dekat. Tetapi ada satu hal yang aku perhatikan tentang Ungu ini. Terkadang ekspresi wajahnya seperti menahan beban dan sekilas terlukis ekspresi kesedihan. Ya, hanya sekilas saja. Wajahnya kadang terlihat sendu walau segera tertutupi dengan renyah tawanya. Senyumnya dan tatap matanya seringkali menatapku tanpa makna, seolah tak konsentrasi dengan apa yang kami bicarakan. Bahkan kadang-kadang aku merasa dia sedang tak bersamaku dalam setiap kebersamaan kami. Aku menduga ada yang mengganggu pikirannya. Tetapi aku tak tahu apa. Keluarganya terlihat bahagia, anak anaknya baik, suaminyapun baik dan sopan, walaupun aku jarang bertemu dengannya karena suami Ungu selalu pergi pagi, dan baru pulang larut  malam. Maklum pengusaha.
Melihat kehidupan Ungu, aku seringkali merasa iri. Betapa bahagia hidupnya. Punya suami dan anak anak yang baik. Harta melimpah, tubuh indah. Sedangkan aku? Aku hanya seorang perempuan yang menjadi istri kedua. Aku bisa punya apa saja, tapi tidak kebersamaan dengan suami sebagai sebuah keluarga yang utuh. Karena aku hanya mendapat waktu dua hari dalam satu minggu. Bahkan kalau terlalu sibuk, aku hanya bisa bertemu suamiku sebulan sekali. Hm, walau kadang kesepian, aku berusaha bertahan. Aku belum mempunyai anak atau praktisnya aku tak ingin mempunyai anak. Posisiku sebagai istri kedua membuatku tak merasa nyaman untuk mempunyai seorang anak. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya membesarkan anak dalam kondisiku yang sekarang. Apakah aku tidak hanya akan membuat anakku malu, mempunyai ibu yang menjadi istri simpanan? Ah, cepat cepat aku mengibaskan pikiran resahku tentang hidup yang sangat berbeda jauh dengan kehidupan Ungu yang serba indah. Menurutku, Tuhan sangat menyayangi Ungu lebih dari sayangNya padaku.
Aku memutuskan untuk menjadi istri kedua karena cinta. Suamiku adalah mantan pacarku ketika aku kuliah dulu. Sebuah jejaring sosial mempertemukan kami kembali. Aku yang memang berlama-lama sendiri karena tak sanggup melupakan masa laluku, tiba-tiba harus dihadapkan kembali pada pilihan yang menurutku sangat menguji ketahananku sebagai seorang wanita. Aku memahami dan menerima keadaannya yang sudah berkeluarga. Singkatnya kami CLBK. Cinta lama bersemi kembali. Aku sebetulnya tidak ingin menyakiti istri pertamanya, tetapi rupanya aku tak berhasil memenangkan logika dibanding perasaanku sendiri. Aku mau menerima cintanya kembali benar-benar murni karena hati. Masalah ia adalah seorang pejabat yang juga pengusaha itu kuanggap sebagai keberuntunganku saja. Selama ini aku sanggup menjalani peranku sebagi isteri kedua yang manis, alias tak banyak menuntut waktu, perhatian maupun materi dari suamiku. Aku adalah orang yang sangat tahu diri.  Dua hari dalam satu minggu, sebuah rumah dan mobil mewah, serta kebutuhan sehari hari terpenuhi, sudah cukup untukku.
Ungu sendiri tahu keadaanku. Aku menceritakan apa adanya keadaan diriku. Aku bukan wanita munafik yang menyembunyikan keadaan diriku sebenarnya kepada Ungu. Aku tahu, profesi istri kedua bukan sesuatu yang membuat wanita lain nyaman untuk bergaul denganku. Akupun merasakan dan sangat memahami hal itu. Tetapi Ungu sepertinya tidak memperdulikan hal itu. Kami bersahabat secara alami. Saling mengantarkan apa yang kami masak di rumah masing-masing, mencoba resep masakan bersama, shopping bersama dan lain lain kegiatan wanita pada umumnya.
Sebenarnya ada sesuatu yang lain pada diri Ungu yang membuatku penasaran. Kadang kadang untuk beberapa detik aku melihat cahaya sendu di wajahnya. Itu seringkali terjadi, walaupun aku tahu Ungu segera bisa menguasai diri dan kembali berekspresi normal. Ceria dan menyenangkan. Suatu hari aku mendapati Ungu tengah termenung di terasnya. Bahkan ada embun membayang di pelupuk matanya. Dia segera berusaha tersenyum ketika aku datang untuk mengantar kue yang aku buat sendiri. Aku tidak berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Aku pura pura tidak tahu, dan ternyata feelingku benar, Ungu tak bercerita apapun padaku. Itu berarti aku juga tak boleh terlalu ingin tahu. Aku takut dia marah. Padahal kedekatan kami selama ini walau baru dua bulan sudah seperti saudara. Entahlah. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan airmata Ungu yang aku lihat sore itu.
Sampai beberapa minggu aku sudah lupa dengan kejadian tersebut. Aku sendiri kalau sedang bersama suamiku, tak banyak waktu untuk Ungu. Maklumlah. Aji mumpung. Ketika suamiku sedang mengunjungiku, maka aku akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kualitas hubungan emosional kami, termasuk hubungan fisikal. Dan kali itu kami memutuskan untuk berlibur ke puncak. Untuk melepas lelah dan refreshing untuk suamiku yang selama ini selalu sibuk dengan urusan pekerjaan.
Sore itu kami bersiap siap untuk menuju puncak. Aku ke rumah Ungu untuk pamit dan menitipkan rumah. Tetapi rumah Ungu kelihatan sepi. Sepertinya mereka sedang pergi. Aku memutuskan untuk menelpon tetapi tidak diangkat. Mungkin sedang sibuk. Akhirnya aku hanya mengirimkan sms untuk sekedar memberitahukan kemana aku aku pergi dan sampai kapan. Sebagai tetangga rasanya tak berlebihan aku berbuat demikian, karena selama ini kami selalu saling memberikan kabar kalau kami meninggalkan rumah masing masing untuk sekedar menitipkan rumah supaya lebih aware karena rumah dalam keadaan kosong.
Aku segera meluncur ke puncak bersama suamiku. Di sebuah restauran kami berhenti untuk makan malam. Restaurant yang kami kunjungi itu adalah restaurant favourite kami, sehingga kami selalu bisa mendapat tempat yang mempunyai view puncak yang awesomekarena kami selalu menelpon terlebih dulu untuk memesan tempat sebelum kami berkunjung ke sana. Setelah menikmati dinner romantis kami, kami bermaksud untuk menuju villa kami yang ada di puncak.
Tepat sebelum kami beranjak dari tempat duduk kami, aku melihat Ungu dan suaminya bersama seorang lelaki di meja yang berada di sudut ruangan. Aku tersenyum cerah bermaksud menyapa mereka, betapa berbahagianya aku bertemu mereka di Puncak tanpa direncanakan. Tapi aku segera mengurungkan niatku ketika melihat ekspresi Ungu. Wajahnya keras dan beku. Pipinya mengeras seolah sedang mengatupkan gigi gerahamnya. Wajahnya memancarkan pandangan yang sulit untuk kuartikan, apakah itu ekspresi marah atau sedih. Yang jelas aku melihat tak ada gurat bahagia di sana. Dan ow.. mungkin bukan saat yang tepat untuk menyapanya dalam keadaan yang seperti itu. Aku segera menggamit lengan suamiku untuk segera pergi dari tempat itu sebelum mereka mengetahui keberadaan kami di restauran itu.
Sepanjang perjalanan menuju tempat parkir, aku masih terbayang wajah Ungu yang dingin. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi suami dan teman lelakinya yang ceria bahkan kelihatan tertawa tawa bahagia. Belum selesai aku berpikir, tiba tiba aku melihat mereka bertiga juga berada di tempat parkir dan menuju mobil mereka yang berada di depan mobilku. Aku melihat Ungu berjalan masuk ke mobil di pintu belakang. Dan aku melihat suaminya membukakan pintu untuk si lelaki yang bersama mereka. Jantungku hampir copot ketika melihat tangan suaminya Ungu memegang pinggang lelaki itu dan mendorong untuk segera masuk ke mobil di posisi tempat duduk di depan.
“Papa…..,” desisku sambil memegang lengan suamiku. Shock melihat pemandangan itu.
Aku melirik suamiku yang duduk di belakang kemudi, dia juga melihat kejadian itu rupanya. Aku melihat tatap marah dan tegang di wajahnya. Sama dengan aku, rupanya suamiku juga terlihat geram dengan tingkah laku suami Ungu. Aku bukan wanita bodoh, aku banyak membaca sehingga aku banyak tahu. Aku dan tentu saja suamiku tahu arti sentuhan suami Ungu itu ke pinggang lelaki yang bersamanya. Kami tak banyak bicara, larut dengan pikiran masing masing. Shock karena suami tetangga dekat kami adalah seorang gay atau tepatnya bisa dikatakan biseks. Ungu dengan keluarga bahagianya ternyata menyimpan duka. Tiba-tiba aku teringat pelupuk mata Ungu yang mengembang airmata sore itu. Lebih sakit lagi melihat Ungu yang berada bersama mereka. Lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Menunduk dalam luka.
Ketika aku bertemu dengan Ungu setelah weekend berakhir, aku melihat tak ada lagi ekspresi yang aku lihat kemarin lusa di Puncak. Dia ceria seperti biasanya. Tetapi tetap seperti dulu aku melihat sekilas luka yang lengah dia sembunyikan dari pengamatanku. Tapi selama dia tidak terbuka padaku, aku juga tak akan menanyakan sesuatu yang sifatnya pribadi kepadanya. Aku menanyakan padanya kemana dia pergi, karena ketika aku mau berpamitan untuk ke puncak, rumahnya dalam keadaan kosong. Mendengar kata puncak, dia sedikit terkejut. Tapi segera dia bisa mengatasi keterkejutannya dengan menanyakan padaku bagaimana weekendku. Apakah menyenangkan atau tidak. Hm… sulit sekali memancingnya rupanya, pikirku.
Malam itu aku berada di rumahnya sampai hampir jam sembilan malam karena kami juga menonton film bersama. Ketika mau berpamitan pulang, aku berpapasan dengan suaminya yang baru pulang kerja di gerbang rumahnya. Dan.. laki laki itu lagi. Setelah berbasa-basi sebentar, akupun pamit untuk pulang. Karena penasaran aku memperhatikan rumah Ungu dari terasku. Aku ingin melihat lelaki itu lagi ketika pulang keluar dari rumah Ungu. Tetapi bukannya keluar tetapi malah si bibi menutup gerbang rumah dan mematikan lampu ruang tengah. Berarti lelaki itu menginap di rumah Ungu. Akhirnya aku memutuskan untuk segera tidur walau gelisah memikirkan keadaan Ungu, tetapi aku akhirnya terlelap juga.
Dorrr Dorr,… aku terkejut mendengar ledakan seperti suara ledakan senjata api. Aku melihat jam dinding, sepertinya aku baru tertidur selama setengah jam. Suara ledakan itu sepertinya dari rumah Ungu. Aku segera mengenakan piyama dan menuju pintu rumahku dan membuka serta menghambur ke rumah Ungu untuk melihat apa yang terjadi. Tepat ketika aku membuka gerbang rumahku sendiri aku melihat mobil suami Ungu bersama lelaki itu melesat keluar dari gerbang rumahnya.
Aku segera berlari  dalam rumah Ungu karena gerbang dan pintu rumahnya dalam keadaan terbuka. Sampai depan pintu aku segera masuk dan menyalakan lampu karena rumah dalam keadaan gelap. Aku melihat sesosok bersimbah darah di karpet ruang tamu. Dan yang membuat jantungku hampir berhenti adalah bahwa yang terbaring itu adalah tubuh suamiku. Aku menjerit.
“Papaaaaaaa,.. apa yang terjadi?”
Di ruang itu hanya ada Bibi yang menatapku, wajahnya pucat pasi. Tubuhnya gemetar tanda shock. Aku belum melihat Ungu. Tak ada gunanya aku bertanya padanya apa yang terjadi. Segera aku menelpon rumah sakit untuk membawa tubuh suamiku yang bersimbah darah. Seribu dugaan berbaris di benakku. Semua berujung tanda tanya. Ungu, suaminya, lelaki itu, suamiku? Ya Tuhan.. apakah ini semua?
Untuk beberapa lama aku tak berjumpa dengan Ungu karena aku menunggui suamiku di Rumah Sakit. Aku heran kenapa Ungu tidak datang untuk sekedar menjenguk suamiku di Rumah sakit, atau paling tidak karena dia belum mengenal suamiku, dia datang untuk bersimpati untukku. Apalagi kejadian ini belum ada kejelasannya. Tetapi entahlah. Ketakutan terbesar yang menghantui pikirannku adalah tiga lelaki itu. Apakah mereka..? ya Tuhan. Jangan seperti dugaanku penjelasan dari semua ini. Aku akan bertanya pada suamiku setelah dia lewat dari masa kritis. Kata Dokter suamiku masih mempunyai harapan yang tinggi untuk bisa selamat dari peluru yang nyasar ke lambungnya sebelah kiri. Semoga.
Aku berpelukan dengan Ungu. Pelukan tanganku mencoba untuk melipat nyeri yang menusuk hati. Mungkin sama dengan yang dirasakan Ungu. Penjelasan dari semua ini adalah airmata kami. Dua perempuan yang terperangkap pada nasib yang tak bisa disanggah lagi. Aku, seorang istri kedua yang menyerah untuk menyakiti seorang perempuan istri pertama karena cinta. Kemudian Ungu yang mendapati suaminya berselingkuh di depan matanya. Salah siapa kalau kedua suami kami ternyata memperebutkan lelaki yang sama?
Lalu sebuah kenyataan tiba tiba tergelar di depan mata kami berdua. Apakah kami bisa menolak hadirnya sebuah takdir? Tidak. Tapi haruskah kami juga terhempas-hempas gelombang nasib bagaikan buih di lautan yang rela terombang ambing sepanjang hidupnya? Jawabannya juga tidak. Untuk itu kami akan mengemas airmata ini dan menjadikannya bekal untuk membasahi hati dan berteriak bahwa kenyataan sepahit apapun akan mampu kami tawarkan dengan airmata yang kami simpan. Sebuah lorong yang menuju kemana kami tak tahu. Tapi kami masih punya cahaya, airmata yang kami punya adalah cahaya. Sekaligus seteguk air penepis dahaga. Bahwa semua pasti indah pada waktunya. Aku melepaskan pelukan Ungu. Dan membiarkan polisi membawanya pergi. Ungu telah membunuh suamiku. Dia menembakkan pistol ke arah suamiku ketika suamiku mencekik suaminya. Suamiku yang tengah cemburu karena melihat suami Ungu bermesraan dengan lelaki itu.

16 Januari 2013

Malam


Kian lama semakin dalam tenggelam
Di sudut malam yang diam tak berperasaan
Ketika sebuah hati merepih sendiri
Dan semua kelezatan pergi
Kesunyian yang nyeri
Menapak luka luka
Sebagai tanda
Mungkin waktu tak lagi tersisa

Entah


Hanya karenamu puisi puisi ini tercipta
Entah
Apakah aku yang tolol dan buta
Atau hanya terlalu mendamba
Semoga “Anna uhibuki fillah” itu memang ada
Dan bukan lip service semata
Karena kau tahu kan, cinta itu kata kerja