29 Januari 2009

BLESSING IN DISGUISE

DALAM SERTIFIKAT SEMINAR PENDIDIKAN

DI IPB BOGOR

Seminar semakin menjamur, dan sifat jamur adalah menyebar, menular…. Tapi mudah-mudahan hanya tuduhan buruk yang tak beralasan saja. Karena selain alasan mencari profit masih ada banyak alasan lain yang lebih etis dan terhormat untuk dijadikan latar belakang diadakannya seminar pendidikan tingkat nasional ini oleh Yayasan Pandu Pendidikan Indonesia. Di Era sertifikasi ini seminar (sertifikatnya) merupakan bagian dari penilaian portofolio guru. Adalah sangat wajar dan manusiawi dan perlu dihargai apabila guru rajin mengikuti seminar akhir-akhir ini, terutama seminar tentang pendidikan yang sesuai dengan bidang yang digeluti. Masih banyak sisi positif yang bisa diambil sebagai efek domino dari keresahan pemerintah untuk memotivasi para guru dalam berprestasi maupun dalam peningkatan kinerjanya. Seminar pendidikan, apalagi skala nasional sungguh menggiurkan nilai kreditnya dalam penghitungan fortofolio, perkara hasil seminar itu mempunyai efek yang permanen atau tidak bagi penguasaan kompetensi dan wawasan guru itu perkara nomor dua. Akan tetapi nomor dua itulah yang sesungguhnya harus menjadi blessing in disguisenya sertifikat seminar. Bahwa peningkatan mutu guru, kompetensi guru, wawasan guru tentang pendidikan dalam skala makro maupun mikro sungguh suatu idealisme yang harus dicari realitasnya.

Rasanya tak diragukan lagi bahwa kompetensi guru sangat berpengaruh terhadap output pendidikan pada umumnya. Banyak skripsi dan tesis yang membuktikan bahwa kompetensi guru mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap hasil belajar siswa. Pemerintah sendiri sudah cukup tanggap dengan fakta tersebut, sehingga sertifikasi diambil sebagai salah satu jalan peningkatan mutu dan kesejahteraan guru diambil sebagai langkah mercusuar yang membuat guru berbondong-bondong untuk meningkatkan kompetensinya dengan bukti fisik sertifikat seminar. Sertifikat yang penulis takut akan kehilangan makna karena diboncengi oleh niat sampingan. Namun lepas dari semua itu semua pihak tetap berharap bahwa semua sertifikat itu mempunyai hubungan yang signifikan dengan kompetensi si pemiliknya. Insya Allah.

Seminar yang dilaksanakan di kampus IPB Bogor, hari Minggu, tanggal 28 Desember 2008 ini dihadiri oleh kurang lebih 1000 guru. Seperti yang dilakukan oleh panitia seminar yang lain, seminar ini juga latah dan ”terpaksa” menghadirkan keynote speaker dan narasumber yang tidak sesuai dengan nama-nama yang tersebut dalam undangan seminar. Seminar yang tadinya menyatakan bahwa Mendiknas, Kadis Kab Bogor, Bupati Bogor, Pakar pendidikan Arif Rahman, Fuad Bawasir dan nama-nama pejabat wakil birokrat akan hadir sebagai pembicara, akhirnya tak satupun nongol di ruang seminar. Sebenarnya hal tersebut tak seharusnya terjadi karena bisa bisa para peserta menilai panitia telah melakukan pembohongan publik mengingat seminar ini tidak gratis alias bayar investasi sejumlah seratus ribu rupiah.

Tapi rupanya hal tersebut tak menyurutkan semangat guru untuk menuntut ilmu, dalam seminar yang bertema ”Implementasi kebijakan anggaran Pendidikan Pusat dan Daerah minimal 20% untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan Dosen” ini. Apalagi ketidakberhasilan panitia dalam menghadirkan pembicara itu sudah diakali dengan pembukaan acara yang sangat menggebu dan persuasif serta permintaan maaf dari panitia yang setulus-tulusnya kepada para peserta. Guru adalah jiwa jiwa yang penuh dengan ketulusan, karena dinomorduakan sudah menjadi hal yang dihadapi oleh para guru, maka tingkat permakluman yang tinggi dari para guru diharapkan menjadi indikator bahwa kompetensi personal atau kepribadian guru sudah mencapai tingkat ideal.

Selain itu kekecewaan para peserta seminar sangat terobati oleh kehadiran Ketua PGRI Kabupaten Bogor, Dr. Gada sembada, dan kehadiran Sang Surya, Bapaknya para guru, yaitu Bapak Prof Dr. H. Muhamad Surya, yang juga menyatakan protes halus terhadap panitia bahwa namanya juga tidak tercantum di dalam undangan seminar. Menurut pengakuan beliau, beliau hadir karena beliau tahu akan berhadapan dengan para guru yang merupakan rekan seprofesi, senasib dan sepenanggungan, yang notabene adalah anggota organisasi PGRI yang pernah beliau pimpin. Walaupun tidak terlalu lama berbicara, tapi beliau cukup menggugah motivasi guru yang selama ini tak pernah ada pencerahan sedikitpun. Bahwa guru adalah sebuah profesi terhormat, bahwa guru bukan pahlawan tanda jasa, bahwa guru harus senantiasa meningkatkan profesionalismenya selalu dan terus menerus. Guru, bukan profesi yang murahan dan dapat diakukan oleh siapa saja tapi hanya dapat dilakukan oleh orang yang mempunyai skill khusus di bidang pedagogik, profesional secara keilmuan, ideal secara personal dan maksimal social sense nya.

Pembicara yang kedua juga merupakan ban serep (meminjam istilah pak Surya) dari perwakilan pengurus besar PGRI yang menyampaikan peran serta PGRI dalam mewujudkan realisasi anggaran pendidikan 20%. Guru yang pada dasarnya adalah anggota PGRI juga antusias mengikuti penuturan narasumber karena PGRI bukan sesuatu yang lain, Bukan dunia fantasi, bukan dunia lain juga bukan dunia dalam berita (lagi-lagi meminjam jokenya pak H.M. Surya) tetapi PGRI adalah darah para guru, organisasi yang meneriakkan dan merepresentasikan nasib dan aspirasi guru. Sehingga tak satupun protes keluar dari mulut para guru karena tidak hadirnya narasumber yang dihadirkan karena dada para guru yang berada di Aula Graha Widia Wisuda IPB tersbut sudah dipenuhi rasa haru, bangga dan penghargaan yang sebesar-besarnya atas perjuangan PGRI dalam mewujudkan realisasi anggaran pendidikan sesuai Undang Undang Dasar 1945, dengan mengadakan Yudicial Review terhadap pemerintah yang menghasilkan kemenangan. Hidup PGRI.

Kinerja panitia lagi-lagi berlumur dengan ketidakprofesionalan dalam acara break makan siang. Konsumsi yang disediakan oleh panitia tidak mencukupi karena alasan yang sangat memprihatinkan, yaitu nasinya belum datang dari catering, Hello...? Mengurus ratusan peserta bukan sesuatu yang mudah memang. Tapi seharusnya hal ini sudah diantisipasi oleh panitia, bahwa seminar nasional akan dihadiri oleh ratusan guru, maka antrian pendaftaran, makan siang dan pengambilan sertifikat merupakan moment yang perlu diakali dan dicari langkah yang paling efektif dan efisien. Lunch Box yang mencukupi saja belum menjamin ketertiban dalam pembagiannya, apalagi Lunch boxnya belum datang.... Hello IPB, Hello Panitia, Hello yayasan pandu pendidikan.....Where have you been?

Tapi perlu dicatat sekali lagi, bahwa guru sudah punya kedewasaan emosional dan intelektual yang ideal, jadi hal hal kecil terebut bukan hal yang penting untuk dijadikan sebagai hal yang perlu digerutukan sepanjang jalan. Guru tetap pulang dengan spirit organisasi yang kental serta semangat tinggi untuk mengabdi, semangat si Oemar Bakri yang kerap terpinggirkan oleh situasi dan kondisi. Guru pulang bawa sertifikat yang merupakan bukti fisik laporan portofolio guru dalam sertifikasi. Amboi, indah sekali janji pemerintah dalam sertifikasi yang semakin terulur dan tertunda realisasinya. Kuota? Dana tak ada? Atau political will dan political commitment yang tidak ada? Apabila anggaran 20% masih termasuk kompensasi untuk gaji dan kesra guru, mau kemana pendidikan kita?

Jawabnya adalah kemana saja sesuai dengan kaki guru melangkah..................................

Oemar Bakri...Oemar Bakri.. senandung para guru.

1 komentar:

  1. Memang guru selalu berada pada pihak yang 'dieksploitasi'. Negara bilang, "rakyat" harus cerdas, tapi guru selalu dilemahkan nilai tawarnya. Kadang tidak tahan mendengar cerita-cerita guru-guru yang disekolahkan, dikasih bantuan belajar, tapi hak-hak mereka (khususnya) finansial dikebiri oknum tertentu.

    BalasHapus