27 Februari 2009

PSYCHO

Hasrat ingin membunuh Sheilla selalu muncul setiap kali dia membuatku marah tak terkira. Perasaan ingin memuaskan diri dengan melenyapkan kehidupan Sheilla selalu menguasaiku setiap waktu. Sudah beberapa kali aku merencanakan pembunuhan tetapi selalu gagal. Mujur baginya, lebur bagiku.
Seperti kejadian yang baru saja aku lihat tadi contohnya. Aku melihat Sheilla menggelayut mesra di lengan Fabio. Darahku berdesir, jantungku berdebar kencang. Kepala terasa mendidih oleh panasnya amarah jiwa. Aku sudah mencoba berbagai cara untuk meniadakan cewek itu, tapi dasar memang sial, Sheilla seolah mempunyai malaikat pelindung yang selalu menmdampinginya di saat saat maut yang aku tebar di tanganku mengincarnya.
Fabio adalah cowok yang benar-benar menguasai pikiran dan anganku. Aku cinta mati sama dia. Aku ingin dia jadi milikku. Memang selama ini kami bersahabat. Tapi persahabatan kami sudah cukup memuaskan diriku karena aku selalu mendapat seluruh perhatian darinya. Aku selalu menyediakan waktu untuk Fabio dan segala keperluannya. Aku yang selalu menyalin setiap catatan pelajaran untuknya. Aku yang selalu mengerjakan PR-nya, aku yang selalu membuatkan surat izin untuknya kalau dia sedang tidak mood belajar dan membolos dari sekolah entah kemana.
Fabio juga menunjukkan perhatian yang tak kurang buatku. Dia selalu mengantarku pulang dari sekolah, menjawab telpon dan smsku yang melebihi dosis minum obat setiap harinya, mendengarkan setiap curhatku mengenai apa saja. Tentu saja itu cukup membuatku merasa dekat dan terikat kepadanya. Prinsipku, cinta tak selalu harus diungkapkan dalam bentuk verbal yang kadang hanya sebentuk rayuan bulshit yang tak karuan. Perbuatan lebih berarti dari seibu kata-kata dan janji. Aku yakin, Fabio juga mencintaiku, walaupun tak ada komitmen yang terucap dari mulutnya. Tapi itu tak membuatku ragu akan ketulusan cintanya.
Hanya saja ada duri dalam hubungan kami semenjak sebulan yang lalu. Sheilla Anjani adalah murid kelas delapan yang selalu mengganggu Fabio dengan berbagai macam rengekan ini dan itu yang tentu saja membuatku sangat kesal. Kebiasanku pulang dengan Fabio sering terganggu karena Sheilla minta diajarin matematika. Janji Fabio terpaksa sering harus dibatalkan karena Sheilla minta diajarain naik motor. Belum lagi alasan-alasan lain yang semakin hari semakin membuatku berkeinginan kuat untuk menghilangkan nyawanya. Semakin lama aku semakin tercekik oleh kecemburuanku pada Sheilla.
Well, aku harus mencari solusinya. Aku harus membuat cewek itu jera. Dan menyesal karena telah merebut Fabio dariku. Satu-satunya jalan agar Sheilla jauh dari Fabio adalah maut. Ya. Sheilla harus mati. Sehingga dia tidak bisa menghalangiku untuk memiliki Fabio seutuhnya. Terlintas dalam pikiranku untuk menyiramkan air raksa ke wajahnya yang cantik itu, sehingga mukanya asti hancur dan tak menarik lagi. Namun mengingat Fabio yang berhati malaikat, yang tak pernah mengecewakan orang laian, aku takut yang terhadi justeru kebalikannya. Bisa saja karena kasihan, Fabio justeru akan semakin saying dan perhatian pada Sheilla. Oh No.
Ketakuanku akan kehilangan Fabio semakin menyiksa. Aku selalu gemetar setiasp saat Fabio menceritakan keakrabannya dengan Sheilla. Sementara kesempatanku untuk membunuhnysa tak jua kutemukan. Aku sudahj punya rencana untuk melakukan tabrak lari padanya tapi selalu ada Fabio yang membatalkan niatku yang tertunda.
Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Hari demi hari, waktu Fabio untukku semakin berkurang bahkan bisa dibilang tak ada lagi. Persahabatan kami dan ”percintaan” kami seolah tak pernah ada dan berarti bagi Fabio. Padahal aku sudah berbuat yang maksimal untuknya. Aku rela meyerahkan segalanya. Apapun yang aku punya, asalkan Fabio mau berpaling padaku. Asalkan Fabio menjadi milikku untuk selamanya.
Sudah hampir seminggu ini bisa dibilang aku tak benar-benar bertemu dengan Fabio. Di sekolah dia hanya say hello saja. Seolah aku ini orang asing baginya. Aku kangen padamu Fabio. Aku ingin bersamamu. Keman a saja seperti dulu yang seing kita lakukan. Ke toko buku, ke fitnes club, kemana saja, Faby, I want you my sweet heart.
Sore ini aku dating ke rumsah Fabio. Coklat berbentuk hati dan sebuah CD sudah aku persiapkan untuk membuatnya perhatian lagi padaku. Tapi apa yang kutemui? Fabio sedang berbincang mesra bersama Sheilla di teras rumahnya. Aku nekat membunyikan bel pintu. Fabio membukakan pintu pagar depan sambil tersenyum.
”Eh, Kathy, Silakan masuk”, sapa Fabio padaku
”Hallo sayang, aku kangen nih,” kataku sambil mencium pipinya. Tanganku masih melingkar di pingganya ketika akhirnya Sheilla ikut berdiri menyambutku. Aku melihat wajahnya pucat pasi melihat tingkahku. Sementara Fabio dengan kikuk berusaha melepaskan pelukannku di pinggangnya.
Suasana jadi hening. Aku menatap Sheilla dengan penuh kemenangan. Aku puas melihat pias wajahnya dan airmata yang perlahan menetes ke pipinya. Dengan segera dia berpamitan pada Fabio.
”Fab, aku pulang,” katanya lesu, suaranya serak hampir tak terdengar.
Ia berjalan sambil menunduk. Kulhat fabio tidak bisa berbuat apa-=apa. Dia mengantakan Sheilla sampai ke pintu gerbang. Setekah itu dengan cepat ia berbalik ke aku yang duduk duduk santai. Sorot matanya garang. Sepetinya baru kali ini aku mlihat ekspresi wajahnya seperti itu. Dengan kasar dia menarik lenganku dan mencengkeramnya dengan kuat sehingga aku kesakitan. Dirtariknya aku ke sofa.
”Who do you think you are?” teriaknya menggelegar.
Aku tersenyum.
“Jangan marah dong, Sayang. Aku kan kekasihmu, wajar dong kalau aku berusaha mempertahnkan dirimu. Aku ga mau kamu sma Sheilla. Uou’re mine. Ibuku boleh kehilangan ayahku. Karena ia terlalu lemah sebagai seorang wanita. Ibuku tak sanggup mempertahnkan cinta ayhku, tapi aku bisa. Karena aku bukan ibuku. Aku lebih kuat dari ibuku. Aku bisa mempertahnkan apa yang menjadi milikku. Kau milikku Faby,...bukan milik Sheilla. OK, aku memang berasal dari keluarga yang broken, ayah dan ibuku divorced setelah berbulan-nulan menghiasi rumah kami dengan berbagai macam pertengkaran dan keributan. Aku selalu gemetar stiap kali mereka berteriak, saling memaki satu sama lain. Tapi aku bersyukur karena kejadian itu yang membuatku menjadi kuat seperti sekarang ini. Aku janji padamu Faby, aku akan menjadi yang terbaik untukmu”.
Wajah Fabio menunjukkan keterkejutan yang amat sangat setelah mendengar kisah keluargaku. Kedua tangannya mencengkeran lenganku. Antara marah dan iba, dia berkata,”
”Khaty, kita hanya sahabat, darimana kamu mendapat ide bahwa kita ini adalah sepasang kekasih?”, tanya Fabio.
”No, We’re belong together,” sahutku sambil beringsuty mendekatinya. Dia duduk membelakangiku sambil menatap ke taman. Aku memelukknya dari belakang. Dia terkejut dan berusaha untuk melepaskan diri.
“Ayolah, Faby, I’m all yours, You can do anything you wanty,” suaraku memohon.
“Are you sick or what…? Fabio kelihatn semakin marah.
“No, Honey, It’s because I love you,” rayuku.
“ Dasar Pshyco…,” teriaknya sambil berdiri meninggalkan aku seraya masuk ke dalam rumah sambil membanting pintu dengan keras. Aku hanya tersenyum. Ah Fabio, cintaku, Bahkan dalam marahmu aku menemukan cinta.”
Masih sambil tersenyum aku meninggalkan rumah Fabio. Langkahku terasa sanngat ringan karena aku merasakan kebahagiaan yang tiada taranya. Faby, tak ada yang lebih berhak atas dirimu, kecuali aku.
Hari ini aku melengkapi kebahagiannku dengan meletakkan gift box di depan pintu rumah Sheilla yang berisi secarik kertas yang bertuliskan
”Kita putus, Khaty lebih berarti untukku,”
Dari Fabio
Tak lupa aku memasukkan hati ayam yang sebelumnya aku beli di warung. Tentu saja tak lupa aku menghancurkan terlebih dahulu, sebagai tanda hancurnya sebuah hati karena kehilangan cinta. Bau gift box itu tercium sangat wangi menyentuh hidungku.

It’s a peace of cake, ternyata aku tak harus membunuh Sheilla untuk memisahkannya dari Fabio. At least untill now. Mungkin nanti ketika segala cara sudah aku tempuh sudah tak mempan lagi, mau tak mau aku harus melakukannya. Banyak jalan kok menuju Roma. Where’s there is will there is a way.
Sementara di sekolah sedang heboh. Seluruh siswa selalu berbisik-bisik ketika melihat aku ataupun melihat Fabio. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menyindir Fabio dengan berbagai macam ungkapan, ada yang berteriak,”Gimana ya, rasanya?” Kemudian diikuti dengan koor ”huuuuuu” dari mereka. Fabio mungkin bingung dengan semua sindiran itu, tapi bagiku tidak. Aku justeru akan mengambil keuntungan dari semua ini, karena pasti tak ada makhluk yang bernama cewek mau berdekatan lagi dengan Fabio. Dan itu gampang. Lihat saja tulisan di kamar mandi siswa...
”I lost my virginity with Fabio”
Dan itu semua berarti bahwa peluang untukku dalam mendapatkan Fabio semakin jelas dan dekat. Hanya aku dan Fabio. Tanpa Sheilla. Bahkan segera setelah Ujian Nasional aku akan menjadi nyonya Fabio karena orangtuanya telah berjanji akan menikahkan kami setelah aku mendatangi mereka dengan bersimbah airmata, aku mengaku hamil oleh Fabio. Aku menangis, meratap, dan menghiba di depan mereka. Aku memohon agar Mereka membujuk Fabio untuk mau menikah dengan aku karena telah merenggut keperawananku dan bahkan Fabio juga telah menanamkan benih di rahimku. Aku lebih baik mati kalau harus menanggung aib ini sendiri.
Akhirnya aku berhasil. Orangtua Fabio percaya dengan segala ocehanku. Dan mereka berjanji akan menikahkan kami setelah Ujian nasional, dai itu berarti kurang dari sebullan lagi. Oh, indahnya. Aku terlelap dengan lamunan indah tentang hari hari yang akan datang. Hari-hari yang penuh cinta dari Fabio.

Minggu pagi yang cerah, aku sdang mempersiapkan diri untuk pergi ke rumah Fabio. Aku menatap diriku di cermin.” I look great” gumamku puas atas penampilanku sendiri. Pasti Fabio akan sangat senag melihat kehadirannku. Setelah semua apa yang ia alami di sekolah, dijadikan bahan pergunjingan, dijauhi semua cewek, pasti dia sangat down. Dan aku? Pasti akan menjadi hero untuknya. Aku harus menghiur dan menenangkan hatinya. Oh my Love, Im coming....
Sudah hampir jam sepuluh pagi ketika aku sampai di rumahnya. Pintu pagarnya terbuka sehingga tanpa membunyikan bel pintu aku bisa dengan leluasa memasuki pekarangan rumahnya. Di teras sepi, tak ada siapa-siapa. Pintu rumahnya sedikit terbuka. Akju sudah membuka mulut untuk mengucapkan selamat pagi, tapi mulutku yang sudah terbuka tak mampu mengeluarkan suara. Bahkan semakin ternganga dengan pemandangan di ruang tamu. Di sana ada Sheilla yang sedang menangis di pelukan Fabio. Tangan Fabio membelai lembut rambut Sheilla. Mereka tidak menyadari kehadiranku.
Dengan tenang aku menyapa dan berusaha menguasai gejolak emosiku dan melangkah memasuki ruangan. Aku meraih benda yang selalu aku siapkan di tasku.
”Sheilla, ” gertakku tak sanggup menahan diri lagi
”Mungkin hanya ini yang akan menjjauhkan kamu dari Fabyku,” lanjutku sambil mengacungkan sebilah pisau ke atas. Karena terlambat menyadari kehadirannku, secara reflek Fabio melindungi Sheilla dengan berdiri di depan Sheilla dengan tangan merrentang menghalangi seranganku.
:Khaty, What The hell are you doing?” Tanya Fabio.
“Aku akan lakukan apa yang harus aku lakukan. Kalau pisau ini bisa membuktikan betapi aku mencintaimu, betapa setiap malam aku memimpikannmu, maka pisau ini akan menjadi saksi.
Sheilla masih terlihat gemetar di belakang fabio. Wajahnya pucat pasi.
Masih sambil mengacungkan pisau di tanganku, aku mendekati mereka berdua. Puas rasanya meliat pias wajah Si Sheilla itu.
” Khaty, plaese, dont do this”, kata Fabio dengan suara yang lemah.
”Cinta itu adalah sesuatu yang suci. Dia akan hadir tanpa bisa dipaksa. Cinta itu tumbuh sendiri dari hati, bukan dari...”
Belum selesai Fabio bicara, aku menyergap dan memotongnya dengan kemarahan yang semakin menggelora.
”Tidak faby, Kamu yang harus mendengarkan aku. Aku yang lebih dulu merapakan hatiku padamu, bukan Sheila. Tidakkah kamu lihar begitu besar menyala api cinta di mataku? Aku bersedia melakukan apa saja. Aku akan menjadi budakmu. Seribu kalimat tak akan mampu mewakili rasa cintaku padamu. Seandainya nyawaku kamu minta sebagi buktinya? Aku akan berikan.
Aku menggoreskan pisau di pergelangan tanganku sambil tersenyuim. Darah yang mengalir deras membuatku terhuyung-huyung. Tetes demi tetes darah ini Fabio, tak cukupkah sebagai bukti? Bhawa I Love You more than anything else in the world”.
Aku tersungkur. Kegelapan membuka sebuah kebahagiaan. Dalam bentuk slurt buram, aku melihat ayah dan ibuku berpelukan. Sempurna sudah apa yang aku inginkan.

Diselesaikan Feb 2009
Langita Awani sebuah Nama Pena