19 April 2008

My Short Story

CERMIN RETAK

Sulit rasanya untuk menceritakan sesuatu yang hanya bisa kita rasakan dalam hati. Menggambarkannya pada orang lain dengan jujur tanpa harus menambah dan mengurangi, sehingga mereka benar-benar bisa merasakan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi tanpa ada prasangka akan subyektivitas kita dalam bercerita. Tapi walau bagaimanapun patut rasanya untuk dicoba. Hasilnya memuaskan atau tidak itu terserah anda.
Seorang teman sekaligus tetangga, sebut saja Bu Ghalina. Bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Suaminya adalah seorang guru. Penampilan fisik Bu Ghalina ini cukup menarik, perawakan sedang dan memakai jilbab setiap hari sebagai tanda iman yang terpancar dari caranya berbusana. Tutur katanya halus dan jarang terlihat emosi spontan yang pernah ia perlihatkan pada umum. Tak sekalipun kata-kata kasar keluar dari mulutnya Mereka sekeluarga tak banyak bergaul dengan tetangga. Tapi punya reputasi yang cukup baik di lingkungan sekitarnya. Tapi entah mengapa ada rasa gamang menyelinap di hati. Benarkah ia sesopan dan sealim penampilannya. Aku kurang tahu masalah agama tapi tidak juga berarti buta sama sekali. Ada beberapa respon sosialnya yang menurutku terlalu mengelabui dan membuat hatiku bertanya-tanya. Mudah-mudahan cerita ini juga bukan sebagai curahan hatiku yang penuh subyektivitas. Hanya sebagai cara berbagi dengan harapan bisa terpetik sebuah sari yang bisa menjadi pelajaran diri.
Masih lekat di dalam ingatan, sebuah kalimat yang muncul dari mulutnya yang halus. ”Wajar Bu, dia terkena guna-guna seperti itu . Soalnya dia kan tidak pernah sholat. Jadi sulit untuk menghindar dari hal-hal Ghaib seperti itu. Istilahnya dia ngga ada pertahan. Bukan apa-apa lho bu, tapi menurut saya memang begitu keadaannya”. Ketika itu ada dari salah satu rekan kami yang sedang sakit, yang entah bagaimana ceritanya, gosip yang tersebar adalah si rekan ini tadi terkena guna-guna, bahwa penyakit yang dideritanya bukan penyakit medis. Rasa prihatin yang mewarnai obrolan kami waktu itu kurasa memudar tiba-tiba dengan kalimat Bu Ghalina. Kalaupun apa yang dibicarakannya benar, bukankah yang berhak menilai ibadah seseorang itu hanya yang Kuasa. Aku merinding mendengarnya. Lewat pembicaraan itu aku malu sama Allah, bukankah sholatku juga kadang-kadang tak bermutu. Kurang khusu’ atau tidak sama sekali. Bahkan seringkali hanya gerak badan simbolik minus makna, karena dalam lafal Al fatihah yang kubaca yang muncul hanya pikran-pikiranku mengenai masalah di dunia. Astaghfirullah. Lalu akan pergi kemana aku dengan sholat yang begitu tak bermutu?.
Menurut Bu Ghalina semua dosa pasti akan dibalas oleh Allah, sehingga setiap ada musibah yang menimpa sahabat, yang dia kemukakan ”Mungkin itu adalah dosanya, kurang amal sih, jadi kemalingan deh tuh, rasain akhirnya Allah mengambil juga dengan paksa, Makanya Bu, jangan pernah lupa sodaqoh dan berinfaq, supaya kita jauh dari kejadian yang dialami oleh si Parti”, katanya berapi-api seolah ustadzah yang sedang ceramah. Sekali lagi aku bergidik. Selama ini aku selalu pelit. Bukan berarti aku tidak mau beramal, tapi aku masih merasa kekurangan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tuhan, beri aku ampunan. Kapan aku beramal kalau aku harus menunggu berlebih. Manusia tak akan pernah puas. Tak pernah mencapai puncak. Selalu muncul puncak puncak yang lebih tinggi ketika kita meraih satu puncak tertentu. Ah, harusnya aku mulai berbagi. Lebih dari sekedar senyum dan amal amal kecil yang keberikan pada para peminta dana. Itupan hanya recehan yang tak ada harganya. Kalau bukan karena Bu Ghalina aku mungkin tak akan pernah ingat bahwa sesungguhnya hartaku yang sebenarnya adalah yang aku berikan pada mereka yang papa. Dalam hati, aku bertanya ”Apakah Bu Ghalina juga selalu bermurah hati dan berbagi rezeki dengan siapa saja? Alangkah bahagianya dia, dikaruniahi harta yang berlimpah sehingg bisa membaginya dengan orang-orang yang membutuhkannya.
Banyak dari kata-kata Bu Ghalina yang membuat aku bercermin dan berusaha mencoba untuk introspeksi diri. Sudahkan aku menjadi baik seperti apa yang dikatakannya? Pernah suatu saat ada rekan yang sedang mendapat rezeki. Dia berusaha membagi rezeki yang dia peroleh dengan cara mentraktir rekan-rekan kami makan di kantin. Satu persatu si rekan ini bertanya pada setiap orang, mau pesan makanan apa dari kantin. Tawaran itu juga diberikan pada Bu Ghalina yang baru saja memasuki ruangan. ”Bu Ghalina mau pesan apa?” tanya si pembagi rezeki dengan bahagia. Bu Ghalina menjawab, ”Eh, tunggu dari uang apa?” tanyanya menyelidik. Si rekan menjawab tanpa prasangaka, ”Ada deh”. Masih dengan wajah menyelidik,” Uang apa dulu?” Ngga mau saya makan dari uang yang tidak jelas dari mana datangnya. Untung si rekan ini punya sense of humor yang bisa diacungi jempol. Dengan santai dia menjawab, ” Oh, tenang, uang halal kok”. Percakapan singkat yang sebenernya aku tak ikut terlibat langsung, tapi cukup membuat aku bergetar. Sanggupkah aku mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan oleh Bu Ghalina tadi kepada setiap orang yang menawari aku makan? Mungkin maksudnya untuk menjaga diri dari masuknya makanan haram ke dalam aliran darahnya. Etika sosialku menolak vulgarnya cara untuk menunjukkan bahwa kita beriman. Apakah kita harus berusaha memberitahukan kepada orang lain bahwa kita beriman, dan selalu memakan makanan bersih dan halal. Aku iri pada si rekan yang sanggup menanggapi tanya yang cukup riskan . Aku iri juga pada Bu Ghalina yang begitu kukuh dan siaga supaya tak masuk makanan semabarang ke dalam aliran darahnya. Aku bertanya pada Allah, Apakah aku cukup pantas untuk mengaku sebagai makhlukMu? Apakah aku cukup pantas menjadi umatmu yang baginda Rasululah. Terimakasih Ya rabb, Kau telah mengingatkan aku lewat percakapan sederhana mereka.
Aku tak henti-hentinya bersyukur pada Allah mempuyai teman seperti Bu Ghalina. Di sebuah pagi yang mendung, kebetulan kami bersama sama naik kendaraan umum menuju tempat kami bekerja. Dalam guncangan kendaraan butut yang ditambah dengan kondisi jalan yang memprihatinkan, Bu Ghalina memulai ceritanya, ”Eh, tadi saya malam takut banget. Anginnya kencang sekali, sampai-sampi tiang besi lapangan bulu tangkis yang ada di depan rumah saya bergoyang-goyang, miring kiri-miring kanan. Pokoknya ngeri.” Aku yang memang tidak tahu bahwa semalam terjadi angin kencang menjawab dengan santai, ” Oh Iya Bu, aduh semalam saya tidur sih, saking nyenyaknya sampai ngga kedengeran tuh. Emang jam berapa?’. Bu Ghalina menjawab dengan volume suara yang didengar oleh semua orang yang naik kendaraan umum itu. ” Jam dua malam Bu, waktu itu aku sedang sholat tahajud, makanya saya keluar sebentar untuk melihat keadaan”. Nah Lho? Rasa bertanyaku dalam hati, mengapa dia harus bercerita seperti itu di depan umum, serasa memenuhi dada. Bukankah itu Riya’ namanya. Apalagi?. Tapi Astaghfirullah aku segera mengganti pertanyaan itu dengan rasa syukur. Oh iya, sudah lama aku tidak menunaikan sholat tahajud. Apalagi semalam?. Bukankah angin kencang yang di bilang semalam akan berbahaya kalau menjadi angin badai. Dan itu berarti aku akan kurang berantisipasi kalau tidak dalam keadaan terjaga. Itu berarti aku akan tergolek menghadapi maut dalam keadaan yang tidur lelap dibuai mimpi. Tak seperti Bu Ghalina. Dia sedang dalam sholat malamnya. Untunglah kejadiannya tidak demikian. Dan aku? Tidak salah rasanya apabila merasa iri dan tersaingi oleh bu Ghalina karena rajin ibadahnya. Tak apa, Aku mensyukurinya dalam hati. Bukanlah Sang Nabi menganjurkan supaya kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Ah... Aku juga harus rajin sholat tahajud. Insya Allah.
Memang kuakui bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi kalau kita menggunakan kelemahan orang lain agar tidak menjadi kelemahan kita sendiri merupakan usaha yang pantas dipertahankan. Kelemahan yang paling membuat merinding bulu roma adalah penyakit hati. Penyakit nonmedis ini juga sulit untuk dicari obatnya. Semoga tak pernah berani penyakit itu bersarang dalam hatiku. Naudzubillah. Kembali aku mendapatkan pelajaran dari Bi Ghalina dalam hal ini. Setiap ada rekan kerja yang mendapat rezeki yang besar, seperti membangun rumah atau membeli mobil dan sebagainya.Ada saja komentar miring yang keluar dari mulutnya. ”Kita kan sama-sama pegawai biasa. Kita saling tahu gaji kita masing-masing, darimana kali dapat uang buat bikin rumah gedung dan mobil mewah. Korupsi kali, Astaghfirullhalazim, jahat sekali saya ya, menuduh orang lain korupsi, tapi bukan apa apa sih, memang begitu kali. Gaji kita sebagai pegawai berapa sih? Semua orang juga tau.”
Tak ada secuilpun rasa turut bahagia ketika orang lain mendapat berkah dariNya. The negatif thingkingnya, bahwa semua orang salah, hanya dia sendiri yang benar. Semua orang banyak dosa kecuali dia sendiri yang suci. Semua orang makan uang haram, kecuali dia sendiri yang mendapat rezeki yang penuh berkah dan rahmat dari Allah.
Aku mengeluh dalam hati. Jangankan sampai terucap, menuduh dalam hatipun sudah merupakan hal yang tak dibolehkan oleh sang Nabi. Ya Tuhan, terimakasih telah Kau beri aku peringatan.
Entah mengapa aku merasa perlu berhati-hati bicara dan bergaul dengan Bu Ghalina. Tutur katanya yang manis kadang-kadang seperti menipu. Penampilan yang alim dan perhatian serta penuh simpati pada musibah yang diterima oleh orang lain terlihat begitu meragukan. Begitu ingin di perlihatkan pada orang lain. Seolah-olah ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia adalah sang sosialis yang penuh iba pada orang lain. Aku jadi teringat pada ajaran Sang Rosul. Jika tangan kananmu memberi, Jangan sampai tangan kirimu mengetahui. Ya Rosulku…. Aku begitu takut kalau-kalau aku setiap hari selalu menghitung-hitung jumlah kebaikan yang telah aku buat. Aku ingin selalu mengeingat kesalahan yang sudah pernah aku lakukan. Semoga terpacu semua syaraf di jiwa, bahwa dosa-dosa masih banyak bergelantung di pelupuk mata. Maka janganlah aku pernah menambah tumpukan dosa dengan membicarakan aib dan kesalahan orang lain. Apalagi hanya berbicara berdasarkan gelapnya syak wasangka dari hati yang muncul karena iri. Naudzubillah.
….
Sebuah pagi hari Minggu yang cerah, kami para tetangga saling bercengkerama sambil membersihkan jalan dan got di depan rumah masing-masing. Tak bermaksud untuk bergosip pagi-pagi, tapi kami hanya mengobrol dengan suara agak keras karena masing-masing berada di jalan depan rumahnya sendiri-sendiri. Para bapak sedang mengorek-ngorek got karena memang kemarin ada surat edaran dari ketua RT bahwa Minggu pagi ini kita harus melaksanakan kerja bakti di lingkungan rumah kami masing-masing. Walaupun agak jauh, tapi aku melihat Bu Ghalina dan keluarganya juga melakukan hal yang sama dengan kami.
Tiba-Tiba terdengar suara ribut-ribut dari ujung gang. Seorang ibu berteriak teriak dengan marah. Semua mata tertuju pada sumber suara. Ternyata pemilik suara itu adalah ibu Martha yang tinggal di RT 02. Bu Martha berdua bersama suaminya menuju rumah Bu Ghalina. Wajah Bu Martha merah jelas menampakan kemarahan yang amat sangat. Tanpa sadar kaki kami semua para tetangga melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
” Bu Ghalina dan Pak Shobri, sepertinya anda berdua orang yang alim, berpendidikan tinggi, terpandang di lingkungan ini, tapi kenapa kelakuan anda begitu rendah”. Bu Martha langsung menyeburkan kata-kata yang panjang ke arah keluarga Ghalina.
”Apa maksud Bu Martha?’, tanya Bu Ghalina tak mengerti.
”Jangan pura-pura tidak tahu”, sela Pak Robi, suami Bu Martha.
”Tapi jangan marah-marah dulu, mari silahkan masuk, ga enak dilihat tetangga,” Ajak Pak Sobhri.
” Tak usah. Lagian sekalian biar hal ini menjadi pelajaran bagi semuanya. Biar mereka tahu apa yang sudah anda lakukan. Begini Pak Sobhri, kenapa Bapak ingin membayar lunas rumah di ujung sana. Padahal Bu ghalina tahu bahwa rumah itu sudah mau saya beli. Bahkan saya sudah memberikan DP lima juta rupiah. Tega sekali Bu Ghalina ingin mendahului saya dengan merayu Pak satya”.
”Saya bisa jelaskan Bu,..” terbata-bata Bu Ghalina menjawab dengan wajah yang pucat pasi.
” Saya kesini bukan untuk minta penjelasan. Saya tahu betul apa yang sebenarnya terjadi, karena Pak Satya menceritakan pada kami. Bagaimana keluarga ibu datang ke rumahnya untuk membeli rumahnya. Pak Satya mengatakan bahwa rumah itu sudah laku. Katanya malah ibu dan Bapak bersedia melebihkan harga asalkan rumah itu dijual pada sampeyan berdua, wong Jawa tapi koki ora ngerti tata krama”. Saya hanya bermaksud menegur sampeyan berdua. Perbuatan macam begitu sungguh jahat dan hina. Saya yang bercerita sendiri pada anda bahwa saya sudah membayar DP rumah itu. Tapi kenapa dengan teganya sampeyan berdua datang ke rumah Pak Satya dan mengatakan bahwa Bu Ghalina dan Pak Sobhri bersedia membayar lebih lima juta, dari harga jadi yang diberikan Pak Sobri ke saya?”.
”Ooohh..jadi begitu ceritanya’, gumam para warga yang sedari tadi diam membaca suasana, sekarang mulai mengangguk-anggukkan kepala tanda paham terhadap persoalan. Ada yang mengatakan, ”Oh memang Bu Ghalina dan suaminya yang salah”. Sementara yang lain hanya mengiyakan sambil terus melihat apa lagi yang akan terjadi. Ada yang bergumam ”Tega banget ya, Bu Ghalina dan suaminya, padahal kan mereka berasal dari daerah yang sama”.
Sementara bu Ghalina kelihatan pucat, tak bisa berbicara apa-apa. Suaminya terlihat gagap mau berbicara, ”Kami……..”,
Tapi Pak Robi segera menghentikan satu kata yang baru keluar dari mulut suami Bu Ghalina, ”Kami hanya bermaksud mengingatkan Bapak dan Ibu, jangan sampai kejadian ini sampeyan lakukan pada orang lain. Untung Pak Satya adalah orang yang paham akan ajaran agama. Dia merasa sudah deal dengan saya mengenai jual beli rumah itu, jadi berapapun uang yang akan ibu suap ke Pak Satya, tak akan berhasil. Sungguh saya bahagia masih ada orang-orang seperti Pak Satya. Tapi saya juga sedih, mengapa masih ada orang-orang seperti sampeyan berdua,’ nada bicara Suami Bu Martha lebih tenang. Tapi masih sarat dengan amarah. ”Sudah Bu, ayo kita pulang, tak ada gunanya kita berlama-lama di sini”, kata Suami Bu Martha sembari menggandeng tangan istrinya. Mereka berjalan menjauh tanpa menoleh-noleh lagi. Tak juga bersapa dengan kami.
Warga yang sedari tadi terpaku, merasa terkejut dengan ending tiba-tiba dari Pak Robi. Segera masing-masing melangkah pergi dan berjalan menuju rumah masing-masing sambil berbisik-bisik. Rata-rata mencibir dan menyalahkan keluarga Ghalina. Masih terkejut dengan reality show ironis yang penuh konflik, tapi ending yang terlalu cepat dan gamang.
Termasuk aku. Berjalan dengan segala macam pikiran menggayut di kepalaku. Sejahat itukah Bu Ghalina?. Selama ini aku bercermin padanya. Apakah ini jawaban atas pertanyaan dan kegamanganku selama ini bergaul dengan Bu Ghalina. Ah, tapi................Aku hanya mengambil hikmahnya saja. Toh kalau berlian, walaupun keluar dari mulut binatang haram sekalipun,... masih akan tetap berlian.